Senin, 19 Januari 2015

Ki Hajar Dewantara dan Perbedaan Pendidikan Zaman Dahulu dengan Zaman Sekarang


A.      BIOGRAFI SINGKAT KI HAJAR DEWANTARA

Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Nama aslinya adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga keratin Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan tahun Caka, namanya berganti menjadi Ki Hajar Dewantara. Sejak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Menurut Ensiklopedia Naasional Indonesia (1989), perjalanan hidup Ki Hajar Dewantara diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian, sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumi Putra), tetapi tidak tamat karena sakit.
Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis andal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam, dan patriotic sehingga mampu membangkitkan semangat anticolonial bagi pembacanya.
            Selain ulet sebagai wartawan muda, Ki Hajar Dewantara juga aktif dalam organisasi social dan politik. Pada 1908, ia menjadi propaganda Budi Utomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa serta bernegara. Lalu, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada 25 Desember 1912, yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Selanjutnya mereka sering disebut Tiga Serangkai.
            Mereka berusaha mendaftarkan Indische Partij kepada pemerintah kolonial Belanda agar memperoleh status badan hokum. Namun melalui Gubernur Jendral Idenburg, Belanda berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada 11 Maret 1913. Sebab, Indische Partij dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintahan kolonial Belanda. Akibatnya, Tiga Serangkai melancarkan kritik terhadap pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis, dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai persta perayaan tersebut.
            Sehubungan dengan rencana perayaan itu, Ki Hajar Dewantara mengkritik melalui tulisan berjudul “Als ik eens Naderlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan “Als ik eens Naderlander was” yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itulah yang memicu permasalahan. Pemerintah Belanda menjatuhkan hukuman tanpa prosses pengadilan kepada Tiga Serangkai, yakni berupa hukuman internering (hokum buang). Sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggi yang boleh dijadikan untuk bertempat tinggal. Mereka pun memilih ke pulau Bangka.
            Akan tetapi, pemerintah Belanda menghendaki mereka dibuang ke Belanda. Hukuman tersebut cukup menguntungkan. Sejak Agustus 1913, mereka mempergunakan masa hukuman untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran.
            Akhirnya, Ki Hajar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte. Pada 1918, ia kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasinal Taman Siswa), pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mencintai bangsa dan tanah air. Selain keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan, Ki Hajar Dewantara juga tetap rajin menulis. Tema tulisannya pun beralih dari politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan yang berjumlah ratusan itulah, ia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
            Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran Republik Indonesia (RI) yang pertama. Namanya tidak hanya diabadikan sebagai tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional), tanggal kelahirannya pun-2 Mei-dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasional. Ia juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
            Penghargaan lain yang diterima Ki Hajar Dewantara adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar tersebut, ia meninggal pada 28 April 1959 di Yogyakarta. Kemudian, oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara. Dalam museum ini, terdapat benda-benda atau karya-karyanya sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.


  1. PENDIDIKAN DULU ADALAH KERAS , TULUS DAN JUJUR
            Semakin jauh kita berjalan semakin banyak yang kita lihat dan kita alami, semakin tinggi kita berada diketinggian pemandangan semakin luas, tetapi juga semakin besar angin menerpa dan itu dapat membuat kita jatuh, atau menjadikan kita kian tegar dan kuat, seperti halnya pohon diatas karang, di tepi yang curam . Kokoh kuat menghadapi terpaan angin yang dahsyat bahkan badai yang mengamuk atau puting beliung, sambil memberi perlindungan yang ada dibawahnya. 

            Orang tua dulu mengajar anaknya dengan sangat keras, begitupun yang dilakukan oleh para guru sekolahan. Dimana-mana begitu. Hukuman phisik jangan ditanya lagi. Seorang murid yang kedapatan melakukan pelanggaran atau bertingkah yang dianggap kurang ajar, melanggar sopan santun terhadap siapa saja, bisa dihajar dengan keras . Tak ada HAM, tak akan ada yang melapor kepada polisi . 

            Undang undangnya hanyalah "kalau memang mau belajar, harus menerima keadaan seperti itu" . Tetapi gurupun dapat diyakini berlaku jujur, dan dapat dipercaya akan tulus dan selalu akan membuat keputusan untuk kebaikan, hampir tak ada guru korupsi, ngakali calon murid, memeras murid dengan jual buku dan formulir formulir dan soal soal tes baik untuk latihan latihan maupun ujian resmi. 

            Tak ada murid terlibat narkoba, pornografi dan porno-aksi, tak ada murid tawuran, mengroyok guru. Jika ada keributan dikalangaa guru, rata rata berkisar persoalan wanita, skandal guru dengan wanita seprofesi pada tempat yang sama. Guru formal di sekolahan, maupun guru informal kebatinan, sama saja, kebanyakan sangat menghargai integritasnya sebagai guru, dan sadar harus memberi contoh sebagai sosok yang patut digugu ditiru. Setiap guru mengajarkan budi pekerti yang halus, kejujuran dan bagi guru formal ditambah dengan menambah kecerdasan atau daya pikir. Murid murid sangat patuh dan taat pada gurunya. Hubungan guru dan murid seperti mahluk dengan dewanya. Sangat dekat tetapi ada jarak sopan santun. Itu guru dulu yang justru mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa. 

            Tujuannya, pendidikan keras agar anak anak dapat tahan banting menghadapi kesulitan dan tantangan di medan medan kehidupan yang keras, memilki kejujuran, unggah ungguh yang benar, peka terhadap yang harus ditolong dalam hidup kebersamaan dan mempunyai pikiran yang cerdas. Pendeknya banyak hal yang diharapkan dari pendidikan yang dapat diringkas agar berkelakuan baik dan cerdas, sehat jasmani dan rohani.

            Hubungan murid dan guru seperti hubungan penjual sayur dan pembeli di pasar. Guru tak perlu punya keprihatinan lagi kalau murid gagal, justru bersedih untuk diri sendiri, yaitu karena kegagalan meraih reputasi. Sebetulnya kami tak ingin cerita yang macam macam namun bagaimana orang akan tahu jika tak diceritakan? Kalau kita ribut memberikan saran agar membuat orang menjadi berakal budi yang tinggi, mempunyai kejujuran dan mempunyai laku utomo selalu dikatakan kuno, tidak maju, dan hampir selalu dijawab moral itu akan terbentuk karena proses hidup berinteraksi dalam masayarakat.

            Orang tua dulu sangat concern dalam melindungi anak anaknya, sehingga tampaknya terlalu kejam terhadap anak-anak. Ketika orde baru insyaf akan kemiskinan rakyat dan negara, dan kepentingan kepentingan pribadi dan para kroni, hanya dapat diatasi oleh modernis modernis pakar pakar economic, boleh dikata sejak itu orde baru mengerahkan banyak potensi pakar economic dan peran peran ASPRI yang terdiri kaum kuno segera tersingkir. Dan sejak saat itulah banyak sekali kemajuan phisik yang dapat dicapai, namun sebenarnya lebih banyak lagi kekayaan kita yang luber keluar yang mambak mambak dan mubasir. 


            Kelebihan pendapatan di dalam negeri selalu mandeg dibagian atas, habis dikuras untuk kepentingan pribadi pemimpin pemimpin dan kroni. Kerakusan orde baru dan kroninya memang keterlaluan. Dan kerakusan orde baru yang mengerahkan mesin pakar economicnya begitu menguatirkan kelompok pakar economic lain, maka kelompok lain segera memasang kuda kuda untuk melawannya dengan mengerahkan mesin kepiawaian economicnya pula. Maka sebetulnya terjadilah pertempuran modernis yang satu melawan kelompok modernis yang lain yang dibantu rakyat yang dijarahnya. Kekuasaan Pak Harto beserta kelompok economicnya ternyata kalah. Pak Harto yang selama itu adalah orang Jawa dengan ilmu kunonya yang kental, dengan bantuan dan nasehat para ASPRI dan dukun dukun beliau yang selalu menjujung ilmu Jawanya, sebetulnya sudah baik, "berjalan alon alon waton klakon ". Kesalahannya kenapa tiba tiba berbalik mengikuti anutan pengetahuan modernis yang tak dipahaminya yang mengajak berlari kencang tapi cepat masuk ke dalam jurang. 

            Alam sesudah reformasi, alam demokrasi dan liberalisasi membebaskan semua ikatan yang selama ini diterapkan oleh orde baru. Alam demokrasi yang mengijinkan orang untuk bebas menentukan arah sendiri. Tak bisa digambarkan betapa tunggang langgangnya orang memperebutkan kesempatan untuk meraih yang selama ini terkungkung. Golongan homo economic yang sudah menguasai lumbung negara, sekalipun tuan tuannya telah pergi justru memperkuat posisinya. Justru sisa sisa kekunoan Pak Harto dibersihkan lagi agar tak bisa ngaru biru langkah langkah homo economicnya.  

            Kekunoan yang merupakan penyeimbang modernissi tak diperlukan karena hal itu hanya akan mengganggu gerakan langkah homo economic . Atau kekunoan itu cukup dijadikan alat bantu langkah homo economic 
Tempat peninggalan, tempat tempat yang sangat dihormati secara adat, simbul simbul kekunoan, tradisi adat yang semula dijunjung tinggi, yang sebetulnya sebagai alat pengendalian diri dari watak tamak dan serakah, justru dijadikan sarana mendulang uang bagi pariwisata, suatu tujuan yang sangat bertentangan dengan maksud pembuatnya. Kanekes, suatu daerah di Banten adalah merupakan model yang sudah sangat langka bagaimana orang dapat mencontoh tentang hidup dalam kejujuran, dalam kesederhaan, dalam kebersamaan, dalam kedamaian, sekarang sudah mulai diusik oleh hingar bingarnya ketamakan, keserakahan modernisme dan akan habis dalam waktu yang tak akan lama. Dengan tak adanya alat penyeimbang itu, segala sesuatu berjalan tentunya berjalan pincang. Tak ada keseimbangan itu yang menyebabkan kegoncangan. Kita orang tua berpikir begitu, barangkali itulah sebab kegonjang ganjingan tak mempunyai tanda tanda akan surut, selama penjaga keseimbangan itu belum dipulihkan.

            Orang orang hasil pendidikan jaman dulu biasanya, seperti gurunya amat menjaga intergritas jabatannya, menjaga moral, kebersamaan. Sayang karena selalu diajar tentang kejujuran, dedikasi, mereka tak paham bahwa di dunia ini ada sisi kejahatan yang amat pintar. Justru kejujuran penjabat ini kadang kadang ditunggangi oleh kepentingan orang jahat. Lain dengan alam kemudiannya dimana pendidikan adalah pendidikan modern seperti sudah kami katakan, menghasilkan orang orang cerdas, tanpa memerlukan intergritas, tanpa perlu mengingat kata dedikasi.

            Namun tak tahu mengapa kearifan kearifan lokal yang ada dalam pluralisme dan multikulturalisme tersebut tak masuk dalam pemikiran penyelenggara negara, yang seperti tak punya agenda lain selain mengejar pertumbuhan ekonomi yang makin menjauhkan gap antara yang berhasil dan yang tak punya kesempatan untuk berhasil.


  1. PERBEDAAN NYATA DUNIA PENDIDIKAN DULU DAN SEKARANG

            Jaman dulu, ragam sekolah tak begitu banyak. Hanya ada SD Negeri, SD Inpres, lalu ada Madrasah yang kurikulumnya pendidikan agama dan sekolah swasta yang tak banyak jumlahnya. Jaman dulu, sekolah negeri jadi incaran. Selain dari segi biaya tidaklah terlalu mahal, kualitas guru dan sarana pendidikannya biasanya lebih baik.

            Ternyata tak anak sempat sekolah di TK. Karena itu tak semua siswa kelas 1 bisa baca-tulis dan berhitung. Guru SD-lah yang mengenalkan abjad dan angka pada kami. Anak siapa saja bisa masuk SD negeri. Latar belakang sosial ekonomi teman-teman sangat beragam, juga tingkat pendidikan orang tuanya. Karena itu, pola asuh yang dikembangkan di keluarga masing-masing siswa tentu berbeda. Di sekolah, guru-lah yang menyeragamkan aturan dan disiplin. Kalau datang terlambat atau tak mengerjakan PR, bakal dihukum. Siswa yang nakal, biang ribut di kelas, suka mengganggu teman, akan di “setrap” di depan kelas, bahkan bisa jadi baru boleh pulang belakangan.

            Tiap hari Senin, guru agama akan berkeliling memeriksa kerapihan dan kebersihan penampilan. Kalau ada siswa pria berambut gondrong, acak-acakan, atau siswi yang kuku jari tangannya panjang apalagi kotor, guru akan mengambil gunting, memotong rambut dan kuku kami. Kenapa guru agama? Ya, karena kebersihan sebagian dari iman dan itu aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Tak ada orang tua murid yang tersinggung, marah apalagi sampai melabrak guru, hanya gara-gara rambut atau kuku anaknya dipotong. Karena bagi mereka sekolah adalah ruang dimana otoritas adalah milik guru. Maka segala aturan disiplin dan standar perilaku, diserahkan pada guru untuk menggariskan dan menegakkannya.

            Dulu, kalau ingin anaknya bisa sholat dan mengaji, biasanya kalau sore orang tua menyuruh anaknya pergi mengaji. Bukan pada TPA yang formal dan terstruktur seperti sekarang, tapi pada guru ngaji informal yang dibayar seikhlasnya, tempat belajarnya di musholla/langgar/surau atau di rumah guru ngaji. Biasanya, guru ngaji jaman dulu dikenal lebih galak ketimbang guru sekolah. Sambil memegang sebatang rotan yang dipakai untuk menunjuk rangakain huruf Hijaiyah di papan, mata tajam guru ngaji melihat siapa saja yang mengantuk dan tak menyimak bacaan Al Qur’an dengan benar. Yang mengantuk tandanya siang kebanyakan bermain, tak mau tidur siang. Ujung batang rotan itu bisa mendarat di tangan dan membuyarkan kantuk. Tak ada orang tua yang protes apalagi sampai memperkarakan guru mengaji yang memukul anak mereka. Meski bukan guru formal, guru mengaji seolah mendapat mandat penuh dari orang tua santri untuk mengajarkan agama dan budi pekerti pada anak mereka.


            Dulu, guru bertanggung jawab penuh atas semua perilaku mereka, termasuk sopan santun dan akhlak. Tapi guru juga diberi kewenangan untuk menindak jika ada yang melanggar. Dari jaman ke jaman, selalu saja ada anak nakal, siswa bandel, biang keladi semua keributan. Itu wajar, namanya juga anak dan remaja. Ada yang sifatnya cenderung melawan, suka membantah, tak mau menurut. Makin menginjak remaja, sikap perlawanan itu makin menjadi. Sekali lagi, tugas guru-lah mengatasinya. Tiap guru punya cara sendiri menghadapi siswa yang sulit diatur. Ada yang sabar dan memilih cara halus untuk menghadapinya, ada yang memilih tak mempedulikan siswa yang bandel – paling-paling diberi nilai jelek untuk mata pelajaran yang diajarkannya, ada pula yang memilih menanganinya dengan cara kasar. Tapi sekali lagi, jarang sekali orang tua siswa tahun ’70 –‘80an yang menggugat guru. Tampaknya orang tua jaman dulu sadar konsekwensi logis dari mereka menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada guru.

            Anak remaja di jaman dulu bersekolah, juga biasa berkelahi. Tapi umumnya satu lawan satu, tidak main keroyokan. Dan yang lebih penting lagi: berkelahi dengan tangan kosong! Efek paling parah: wajah babak belur, pakaian kotor atau sobek. Pulang ke rumah tak berani mengadu pada orang tua. Kalau ketahuan guru, sudah pasti dihukum berat. Dan kalau dihukum guru, mana berani mengadu ke orang tua, bisa-bisa orang tua akan menghukum juga.

            Ada satu hal yang bisa disimpulkan disini: remaja jaman dulu tidak mendapatkan toleransi dan perlindungan – bahkan dari orang tuanya sendiri – ketika mereka melakukan kekerasan. Terkadang, bahkan orang tua sendiri lah yang mengantar anaknya ke wali kelas, jika kedapatan berkelahi sepulang sekolah. Orang tua meminta guru menghukum anak mereka.
            Lalu bagaimana dengan jaman sekarang? Guru tampaknya berada pada posisi sulit. Mereka tak bisa lagi mudah menjatuhkan hukuman pada siswanya. Salah-salah, siswa yang kena “setrap” mengadu pada orang tuanya, malah guru yang ganti diadukan ke polisi. Orang tua tahunya anak mereka baik-baik, tak ada hak guru untuk menghukumnya. Sementara, ketika terjadi tawuran antar pelajar sepulang sekolah, pertanyaan di berbagai media dialamatkan pada guru: dimana peran guru?

            Kalau anaknya sudah terlibat masalah seperti ini, barulah ortu turun tangan, bahkan terkadang mengintervensi kewenangan sekolah.cCoba kita tengok beberapa kasus belakangan ini. Sekelompok siswa sebuah SMA di kawasan elite, yang jelas-jelas melakukan bullying terencana pada adik kelasnya, dibela mati-matian oleh orang tua mereka. Guru dan pihak sekolah tak lagi bebas menegakkan hukum pada siswanya. Meski sejak awal mereka tak menunjukkan penyesalan, tak menganggap apa yang mereka lakukan itu bukan sekedar salah tapi juga terlarang, orang tua turun tangan membela. Bila perlu, sewakan pengacara, bawakan LSM yang atas nama hak anak, mencarikan dalih bahwa mereka tak boleh dihukum. Lalu bagaimana dengan hak untuk mendapatkan rasa aman bagi anak yang di-bully? Bukankah menganiaya orang lain, apapun alasannya sama sekali tak bisa dibenarkan?

            Lalu kenapa orang tua atau wali murid jaman sekarang lebih permissive pada perilaku tak terpuji anak mereka? Mungkin ini juga bentuk tindakan apologize karena selama ini orang tua kerap lalai memberikan perhatian dan waktunya pada anak mereka. Berapa banyak orang tua yang masih menyempatkan diri melepas anaknya berangkat ke sekolah sampai di pintu depan rumah, membiasakan anaknya mencium tangan mereka, lalu menepuk pundak anaknya atau mengelus kepalanya sambil berpesan : “Hati-hati di jalan ya, Nak” atau “Baik-baik ya di sekolah”. Kalimat-kalimat yang terdengar klise. Tapi kalau diucapkan setiap hari, akan tertanam pesan di benak si anak, tentang harapan ortunya agar mereka jadi anak baik-baik, berhati-hati dijalan dan bukannya jadi raja jalan atau cari gara-gara di jalan.

            Banyak orang tua yang tidak terlalu mengenal watak dan karakter asli anak mereka. Sebuah contoh nyata adalah Ibunda Afriani. Ketika pers menguliti kebiasaan Afriani dan teman-temannya yang terbiasa dugem kalau weekend, terbiasa mengkonsumsi miras dan narkoba, si Ibu tetap saja bersikeras putrinya anak baik yang tak mungkin melakukan hal itu. Kendati foto-foto yang diunggah sendiri oleh Afriani di akun jejaring sosial miliknya menggambarkan hal itu, status FBnya menunjukkan kebiasaan “party”, tetap saja si Ibu tak percaya putrinya begitu. Bahkan dalam wawancara di TV, ibunya mengatakan tak yakin putrinya mengkonsumsi miras dan narkoba, karena sesaat setelah menabrak Afri langsung menelpon ibunya dan suaranya masih normal, tidak seperti orang mabok. Padahal, jelas-jelas hasil test urine tak diragukan lagi membuktikan mereka telah mengkonsumsi miras dan ecstasy.

            Tak cukup hanya perhatian dan kasih sayang guru, perhatian dan kasih sayang orang tua justrru mutlak perlu. Nah, inilah ambigu dunia pendidikan jaman sekarang. Di satu sisi orang tua seolah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka pada guru-guru di sekolah, namun di sisi lain, ketika ada masalah, anaknya berulah, orang tua tak mau guru mengambil tindakan. Orang tua turun tangan ketika sudah ada masalah, itupun bukan untuk meng-endorse pengegakan disiplin dan hukum sesuai aturan, tetapi justru untuk mengintervensi disiplin dan hukum, mengupayakan privilege bagi anak mereka. Akibatnya, sama sekali tak ada pembelajaran pada diri siswa. Anak tak belajar dari kesalahan yang dibuatnya. Boro-boro ada efek jera, bisa jadi malah si anak berpikir : “Ah.., nanti juga kalau aku bermasalah, ortuku pasti membela. Mana berani guru menghukumku”.

            Anak gemar tawuran, anak suka keroyokan dan berperilaku anarkhis, tentu banyak faktor penyebabnya. Anak tak terbebani rasa salah alias cuek, tidak menyesal saat melakukan perbuatan salah bahkan menjurus ke kriminal, juga banyak aspek pemicunya. Sungguh tidak adil, jika tanggung jawab hanya dibebankan pada guru dan sekolah sebagai institusi. Kalau benar orang tua menyerahkan pendidikan anaknya pada guru dan sekolah, maka mereka juga harus rela jika guru menegakkan aturan pada semua siswa tanpa pandang bulu. Orang tua harus ikhlas anaknya menerima akibat hukum dari perbuatannya, termasuk jika tidak disiplin dan tidak berlaku sopan pada guru.Jangan ajari anak menginjak-injak hukum. Sebab kekacauan itu timbul karena lemahnya penegakan hukum.