A.
BIOGRAFI SINGKAT KI HAJAR DEWANTARA
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Nama
aslinya adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga keratin Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan tahun
Caka, namanya berganti menjadi Ki Hajar Dewantara. Sejak saat itu, ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Menurut Ensiklopedia Naasional Indonesia (1989), perjalanan
hidup Ki Hajar Dewantara diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan
bangsanya. Ia menamatkan sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS).
Kemudian, sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumi Putra), tetapi
tidak tamat karena sakit.
Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai wartawan di beberapa surat
kabar, antara lain Sedyotomo, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong
penulis andal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam, dan patriotic
sehingga mampu membangkitkan semangat anticolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai wartawan muda,
Ki Hajar Dewantara juga aktif dalam organisasi social dan politik. Pada 1908,
ia menjadi propaganda Budi Utomo untuk mensosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa serta bernegara. Lalu, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja
Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische
Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada 25
Desember 1912, yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Selanjutnya mereka
sering disebut Tiga Serangkai.
Mereka berusaha mendaftarkan
Indische Partij kepada pemerintah kolonial Belanda agar memperoleh status badan
hokum. Namun melalui Gubernur Jendral Idenburg, Belanda berusaha menghalangi
kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada 11 Maret 1913. Sebab,
Indische Partij dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintahan kolonial Belanda. Akibatnya,
Tiga Serangkai melancarkan kritik terhadap pemerintah Belanda yang bermaksud
merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis, dengan
menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai persta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan
itu, Ki Hajar Dewantara mengkritik melalui tulisan berjudul “Als ik eens Naderlander was”
(Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een
voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga). Tulisan “Als ik eens
Naderlander was” yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itulah yang memicu permasalahan.
Pemerintah Belanda menjatuhkan hukuman tanpa prosses pengadilan kepada Tiga
Serangkai, yakni berupa hukuman internering
(hokum buang). Sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggi yang boleh
dijadikan untuk bertempat tinggal. Mereka pun memilih ke pulau Bangka.
Akan tetapi, pemerintah Belanda
menghendaki mereka dibuang ke Belanda. Hukuman tersebut cukup menguntungkan.
Sejak Agustus 1913, mereka mempergunakan masa hukuman untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran.
Akhirnya, Ki Hajar Dewantara
berhasil memperoleh Europeesche Akte. Pada 1918, ia kembali ke tanah air dan
mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan
meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional,
Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasinal Taman Siswa), pada
3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada
peserta didik agar mencintai bangsa dan tanah air. Selain keseriusannya
mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan, Ki Hajar Dewantara juga tetap
rajin menulis. Tema tulisannya pun beralih dari politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan yang berjumlah ratusan itulah, ia
berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar
Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran Republik Indonesia (RI)
yang pertama. Namanya tidak hanya diabadikan sebagai tokoh dan pahlawan
pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional), tanggal kelahirannya pun-2
Mei-dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasional. Ia juga ditetapkan sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun
1959, tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterima Ki
Hajar Dewantara adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada
(UGM) pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar tersebut, ia meninggal
pada 28 April 1959 di Yogyakarta. Kemudian, oleh pihak penerus perguruan Taman
Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan
nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara. Dalam museum ini, terdapat
benda-benda atau karya-karyanya sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa.
- PENDIDIKAN DULU ADALAH KERAS , TULUS DAN JUJUR
Semakin jauh kita berjalan semakin banyak yang kita lihat
dan kita alami, semakin tinggi kita berada diketinggian pemandangan semakin
luas, tetapi juga semakin besar angin menerpa dan itu dapat membuat kita jatuh,
atau menjadikan kita kian tegar dan kuat, seperti halnya pohon diatas karang,
di tepi yang curam . Kokoh kuat menghadapi terpaan angin yang dahsyat bahkan
badai yang mengamuk atau puting beliung, sambil memberi perlindungan yang ada
dibawahnya.
Orang tua dulu mengajar anaknya dengan sangat keras,
begitupun yang dilakukan oleh para guru sekolahan. Dimana-mana begitu. Hukuman
phisik jangan ditanya lagi. Seorang murid yang kedapatan melakukan pelanggaran
atau bertingkah yang dianggap kurang ajar, melanggar sopan santun terhadap
siapa saja, bisa dihajar dengan keras . Tak ada HAM, tak akan ada yang melapor
kepada polisi .
Undang undangnya hanyalah "kalau memang mau belajar, harus menerima keadaan seperti
itu" . Tetapi gurupun dapat diyakini berlaku jujur, dan
dapat dipercaya akan tulus dan selalu akan membuat keputusan untuk kebaikan,
hampir tak ada guru korupsi, ngakali calon murid, memeras murid dengan jual
buku dan formulir formulir dan soal soal tes baik untuk latihan latihan maupun
ujian resmi.
Tak ada murid terlibat narkoba, pornografi dan
porno-aksi, tak ada murid tawuran, mengroyok guru. Jika ada keributan
dikalangaa guru, rata rata berkisar persoalan wanita, skandal guru dengan
wanita seprofesi pada tempat yang sama. Guru formal di sekolahan, maupun guru
informal kebatinan, sama saja, kebanyakan sangat menghargai integritasnya
sebagai guru, dan sadar harus memberi contoh sebagai sosok yang patut digugu ditiru. Setiap guru mengajarkan
budi pekerti yang halus, kejujuran dan bagi guru formal ditambah dengan menambah
kecerdasan atau daya pikir. Murid murid sangat patuh dan taat pada gurunya.
Hubungan guru dan murid seperti mahluk dengan dewanya. Sangat dekat tetapi ada
jarak sopan santun. Itu guru dulu yang justru mendapat gelar pahlawan tanpa
tanda jasa.
Tujuannya, pendidikan keras agar anak anak dapat tahan
banting menghadapi kesulitan dan tantangan di medan medan kehidupan yang keras,
memilki kejujuran, unggah ungguh yang benar, peka terhadap yang harus ditolong
dalam hidup kebersamaan dan mempunyai pikiran yang cerdas. Pendeknya banyak hal
yang diharapkan dari pendidikan yang dapat diringkas agar berkelakuan baik dan
cerdas, sehat jasmani dan rohani.
Hubungan murid dan guru seperti hubungan penjual sayur
dan pembeli di pasar. Guru tak perlu punya keprihatinan lagi kalau murid gagal,
justru bersedih untuk diri sendiri, yaitu karena kegagalan meraih reputasi.
Sebetulnya kami tak ingin cerita yang macam macam namun bagaimana orang akan
tahu jika tak diceritakan? Kalau kita ribut memberikan saran agar membuat orang
menjadi berakal budi yang tinggi, mempunyai kejujuran dan mempunyai laku utomo
selalu dikatakan kuno, tidak maju, dan hampir selalu dijawab moral itu akan
terbentuk karena proses hidup berinteraksi dalam masayarakat.
Orang tua dulu sangat concern
dalam melindungi anak anaknya, sehingga tampaknya terlalu kejam terhadap
anak-anak. Ketika orde baru insyaf akan kemiskinan rakyat dan negara, dan
kepentingan kepentingan pribadi dan para kroni, hanya dapat diatasi oleh
modernis modernis pakar pakar economic, boleh dikata sejak itu orde baru
mengerahkan banyak potensi pakar economic dan peran peran ASPRI yang terdiri
kaum kuno segera tersingkir. Dan sejak saat itulah banyak sekali kemajuan
phisik yang dapat dicapai, namun sebenarnya lebih banyak lagi kekayaan kita
yang luber keluar yang mambak mambak dan mubasir.
Kelebihan pendapatan di dalam negeri selalu mandeg
dibagian atas, habis dikuras untuk kepentingan pribadi pemimpin pemimpin dan
kroni. Kerakusan orde baru dan kroninya memang keterlaluan. Dan kerakusan orde
baru yang mengerahkan mesin pakar economicnya begitu menguatirkan kelompok
pakar economic lain, maka kelompok lain segera memasang kuda kuda untuk
melawannya dengan mengerahkan mesin kepiawaian economicnya pula. Maka
sebetulnya terjadilah pertempuran modernis yang satu melawan kelompok modernis
yang lain yang dibantu rakyat yang dijarahnya. Kekuasaan Pak Harto beserta kelompok
economicnya ternyata kalah. Pak Harto yang selama itu adalah orang Jawa dengan
ilmu kunonya yang kental, dengan bantuan dan nasehat para ASPRI dan dukun dukun
beliau yang selalu menjujung ilmu Jawanya, sebetulnya sudah baik, "berjalan alon alon waton klakon ".
Kesalahannya kenapa tiba tiba berbalik mengikuti anutan pengetahuan modernis
yang tak dipahaminya yang mengajak berlari kencang tapi cepat masuk ke dalam
jurang.
Alam sesudah reformasi, alam demokrasi dan liberalisasi
membebaskan semua ikatan yang selama ini diterapkan oleh orde baru. Alam
demokrasi yang mengijinkan orang untuk bebas menentukan arah sendiri. Tak bisa
digambarkan betapa tunggang langgangnya orang memperebutkan kesempatan untuk
meraih yang selama ini terkungkung. Golongan homo economic yang sudah menguasai
lumbung negara, sekalipun tuan tuannya telah pergi justru memperkuat posisinya.
Justru sisa sisa kekunoan Pak Harto dibersihkan lagi agar tak bisa ngaru biru langkah
langkah homo economicnya.
Kekunoan
yang merupakan penyeimbang modernissi tak diperlukan karena hal itu hanya akan
mengganggu gerakan langkah homo economic . Atau kekunoan itu cukup dijadikan
alat bantu langkah homo economic . Tempat peninggalan, tempat tempat yang sangat dihormati secara
adat, simbul simbul kekunoan, tradisi adat yang semula dijunjung tinggi, yang
sebetulnya sebagai alat pengendalian diri dari watak tamak dan serakah, justru
dijadikan sarana mendulang uang bagi pariwisata, suatu tujuan yang sangat
bertentangan dengan maksud pembuatnya. Kanekes, suatu daerah di Banten adalah
merupakan model yang sudah sangat langka bagaimana orang dapat mencontoh
tentang hidup dalam kejujuran, dalam kesederhaan, dalam kebersamaan, dalam
kedamaian, sekarang sudah mulai diusik oleh hingar bingarnya ketamakan,
keserakahan modernisme dan akan habis dalam waktu yang tak akan lama. Dengan tak
adanya alat penyeimbang itu, segala sesuatu berjalan tentunya berjalan pincang.
Tak ada keseimbangan itu yang menyebabkan kegoncangan. Kita orang tua berpikir
begitu, barangkali itulah sebab kegonjang ganjingan tak mempunyai tanda tanda
akan surut, selama penjaga keseimbangan itu belum dipulihkan.
Orang orang hasil pendidikan jaman dulu biasanya, seperti
gurunya amat menjaga intergritas jabatannya, menjaga moral, kebersamaan. Sayang
karena selalu diajar tentang kejujuran, dedikasi, mereka tak paham bahwa di
dunia ini ada sisi kejahatan yang amat pintar. Justru kejujuran penjabat ini
kadang kadang ditunggangi oleh kepentingan orang jahat. Lain dengan alam
kemudiannya dimana pendidikan adalah pendidikan modern seperti sudah kami
katakan, menghasilkan orang orang cerdas, tanpa memerlukan intergritas, tanpa
perlu mengingat kata dedikasi.
Namun tak tahu mengapa kearifan kearifan lokal yang ada
dalam pluralisme dan
multikulturalisme tersebut tak masuk dalam pemikiran penyelenggara
negara, yang seperti tak punya agenda lain selain mengejar pertumbuhan ekonomi
yang makin menjauhkan gap antara yang berhasil dan yang tak punya kesempatan
untuk berhasil.
- PERBEDAAN
NYATA DUNIA PENDIDIKAN DULU DAN SEKARANG
Jaman dulu, ragam sekolah tak begitu
banyak. Hanya ada SD Negeri, SD Inpres, lalu ada Madrasah yang kurikulumnya
pendidikan agama dan sekolah swasta yang tak banyak jumlahnya. Jaman dulu,
sekolah negeri jadi incaran. Selain dari segi biaya tidaklah terlalu mahal,
kualitas guru dan sarana pendidikannya biasanya lebih baik.
Ternyata tak anak sempat
sekolah di TK. Karena itu tak semua siswa kelas 1 bisa baca-tulis dan
berhitung. Guru SD-lah yang mengenalkan abjad dan angka pada kami. Anak siapa
saja bisa masuk SD negeri. Latar belakang sosial ekonomi teman-teman sangat
beragam, juga tingkat pendidikan orang tuanya. Karena itu, pola asuh yang
dikembangkan di keluarga masing-masing siswa tentu berbeda. Di sekolah,
guru-lah yang menyeragamkan aturan dan disiplin. Kalau datang terlambat atau
tak mengerjakan PR, bakal dihukum. Siswa yang nakal, biang ribut di kelas, suka
mengganggu teman, akan di “setrap” di depan kelas, bahkan bisa jadi baru boleh
pulang belakangan.
Tiap hari Senin, guru agama
akan berkeliling memeriksa kerapihan dan kebersihan penampilan. Kalau ada siswa
pria berambut gondrong, acak-acakan, atau siswi yang kuku jari tangannya
panjang apalagi kotor, guru akan mengambil gunting, memotong rambut dan kuku
kami. Kenapa guru agama? Ya, karena kebersihan sebagian dari iman dan itu
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Tak ada orang tua murid yang
tersinggung, marah apalagi sampai melabrak guru, hanya gara-gara rambut atau
kuku anaknya dipotong. Karena bagi mereka sekolah adalah ruang dimana otoritas
adalah milik guru. Maka segala aturan disiplin dan standar perilaku, diserahkan
pada guru untuk menggariskan dan menegakkannya.
Dulu, kalau ingin anaknya bisa
sholat dan mengaji, biasanya kalau sore orang tua menyuruh anaknya pergi
mengaji. Bukan pada TPA yang formal dan terstruktur seperti sekarang, tapi pada
guru ngaji informal yang dibayar seikhlasnya, tempat belajarnya di
musholla/langgar/surau atau di rumah guru ngaji. Biasanya, guru ngaji jaman
dulu dikenal lebih galak ketimbang guru sekolah. Sambil memegang sebatang rotan
yang dipakai untuk menunjuk rangakain huruf Hijaiyah di papan, mata tajam guru
ngaji melihat siapa saja yang mengantuk dan tak menyimak bacaan Al Qur’an
dengan benar. Yang mengantuk tandanya siang kebanyakan bermain, tak mau tidur
siang. Ujung batang rotan itu bisa mendarat di tangan dan membuyarkan kantuk.
Tak ada orang tua yang protes apalagi sampai memperkarakan guru mengaji yang
memukul anak mereka. Meski bukan guru formal, guru mengaji seolah mendapat
mandat penuh dari orang tua santri untuk mengajarkan agama dan budi pekerti
pada anak mereka.
Dulu, guru bertanggung jawab
penuh atas semua perilaku mereka, termasuk sopan santun dan akhlak. Tapi guru
juga diberi kewenangan untuk menindak jika ada yang melanggar. Dari jaman ke
jaman, selalu saja ada anak nakal, siswa bandel, biang keladi semua keributan.
Itu wajar, namanya juga anak dan remaja. Ada yang sifatnya cenderung melawan,
suka membantah, tak mau menurut. Makin menginjak remaja, sikap perlawanan itu
makin menjadi. Sekali lagi, tugas guru-lah mengatasinya. Tiap guru punya cara
sendiri menghadapi siswa yang sulit diatur. Ada yang sabar dan memilih cara
halus untuk menghadapinya, ada yang memilih tak mempedulikan siswa yang bandel
– paling-paling diberi nilai jelek untuk mata pelajaran yang diajarkannya, ada
pula yang memilih menanganinya dengan cara kasar. Tapi sekali lagi, jarang
sekali orang tua siswa tahun ’70 –‘80an yang menggugat guru. Tampaknya orang
tua jaman dulu sadar konsekwensi logis dari mereka menyerahkan sepenuhnya
pendidikan anak mereka kepada guru.
Anak remaja di jaman dulu bersekolah,
juga biasa berkelahi. Tapi umumnya satu lawan satu, tidak main keroyokan. Dan
yang lebih penting lagi: berkelahi dengan tangan kosong! Efek paling parah:
wajah babak belur, pakaian kotor atau sobek. Pulang ke rumah tak berani mengadu
pada orang tua. Kalau ketahuan guru, sudah pasti dihukum berat. Dan kalau
dihukum guru, mana berani mengadu ke orang tua, bisa-bisa orang tua akan
menghukum juga.
Ada satu hal yang bisa disimpulkan
disini: remaja jaman dulu tidak mendapatkan toleransi dan perlindungan – bahkan
dari orang tuanya sendiri – ketika mereka melakukan kekerasan. Terkadang,
bahkan orang tua sendiri lah yang mengantar anaknya ke wali kelas, jika
kedapatan berkelahi sepulang sekolah. Orang tua meminta guru menghukum anak
mereka.
Lalu bagaimana dengan jaman
sekarang? Guru tampaknya berada pada posisi sulit. Mereka tak bisa lagi mudah
menjatuhkan hukuman pada siswanya. Salah-salah, siswa yang kena “setrap”
mengadu pada orang tuanya, malah guru yang ganti diadukan ke polisi. Orang tua
tahunya anak mereka baik-baik, tak ada hak guru untuk menghukumnya. Sementara,
ketika terjadi tawuran antar pelajar sepulang sekolah, pertanyaan di berbagai
media dialamatkan pada guru: dimana peran guru?
Kalau anaknya sudah terlibat
masalah seperti ini, barulah ortu turun tangan, bahkan terkadang mengintervensi
kewenangan sekolah.cCoba kita tengok beberapa kasus belakangan ini. Sekelompok
siswa sebuah SMA di kawasan elite, yang jelas-jelas melakukan bullying
terencana pada adik kelasnya, dibela mati-matian oleh orang tua mereka. Guru
dan pihak sekolah tak lagi bebas menegakkan hukum pada siswanya. Meski sejak
awal mereka tak menunjukkan penyesalan, tak menganggap apa yang mereka lakukan itu
bukan sekedar salah tapi juga terlarang, orang tua turun tangan membela. Bila
perlu, sewakan pengacara, bawakan LSM yang atas nama hak anak, mencarikan dalih
bahwa mereka tak boleh dihukum. Lalu bagaimana dengan hak untuk mendapatkan rasa
aman bagi anak yang di-bully? Bukankah menganiaya orang lain, apapun alasannya
sama sekali tak bisa dibenarkan?
Lalu kenapa orang tua atau wali
murid jaman sekarang lebih permissive pada perilaku tak terpuji anak mereka?
Mungkin ini juga bentuk tindakan apologize karena selama ini orang tua kerap
lalai memberikan perhatian dan waktunya pada anak mereka. Berapa banyak orang
tua yang masih menyempatkan diri melepas anaknya berangkat ke sekolah sampai di
pintu depan rumah, membiasakan anaknya mencium tangan mereka, lalu menepuk
pundak anaknya atau mengelus kepalanya sambil berpesan : “Hati-hati di jalan
ya, Nak” atau “Baik-baik ya di sekolah”. Kalimat-kalimat yang terdengar klise.
Tapi kalau diucapkan setiap hari, akan tertanam pesan di benak si anak, tentang
harapan ortunya agar mereka jadi anak baik-baik, berhati-hati dijalan dan
bukannya jadi raja jalan atau cari gara-gara di jalan.
Banyak orang tua yang tidak
terlalu mengenal watak dan karakter asli anak mereka. Sebuah contoh nyata
adalah Ibunda Afriani. Ketika pers menguliti kebiasaan Afriani dan
teman-temannya yang terbiasa dugem kalau weekend, terbiasa mengkonsumsi miras
dan narkoba, si Ibu tetap saja bersikeras putrinya anak baik yang tak mungkin
melakukan hal itu. Kendati foto-foto yang diunggah sendiri oleh Afriani di akun
jejaring sosial miliknya menggambarkan hal itu, status FBnya menunjukkan
kebiasaan “party”, tetap saja si Ibu tak percaya putrinya begitu. Bahkan dalam
wawancara di TV, ibunya mengatakan tak yakin putrinya mengkonsumsi miras dan
narkoba, karena sesaat setelah menabrak Afri langsung menelpon ibunya dan
suaranya masih normal, tidak seperti orang mabok. Padahal, jelas-jelas hasil
test urine tak diragukan lagi membuktikan mereka telah mengkonsumsi miras dan
ecstasy.
Tak cukup hanya perhatian dan
kasih sayang guru, perhatian dan kasih sayang orang tua justrru mutlak perlu. Nah,
inilah ambigu dunia pendidikan jaman sekarang. Di satu sisi orang tua seolah
menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka pada guru-guru di sekolah, namun
di sisi lain, ketika ada masalah, anaknya berulah, orang tua tak mau guru
mengambil tindakan. Orang tua turun tangan ketika sudah ada masalah, itupun
bukan untuk meng-endorse pengegakan disiplin dan hukum sesuai aturan, tetapi
justru untuk mengintervensi disiplin dan hukum, mengupayakan privilege bagi
anak mereka. Akibatnya, sama sekali tak ada pembelajaran pada diri siswa. Anak
tak belajar dari kesalahan yang dibuatnya. Boro-boro ada efek jera, bisa jadi
malah si anak berpikir : “Ah.., nanti juga kalau aku bermasalah, ortuku pasti
membela. Mana berani guru menghukumku”.
Anak gemar tawuran, anak suka
keroyokan dan berperilaku anarkhis, tentu banyak faktor penyebabnya. Anak tak
terbebani rasa salah alias cuek, tidak menyesal saat melakukan perbuatan salah
bahkan menjurus ke kriminal, juga banyak aspek pemicunya. Sungguh tidak adil,
jika tanggung jawab hanya dibebankan pada guru dan sekolah sebagai institusi.
Kalau benar orang tua menyerahkan pendidikan anaknya pada guru dan sekolah,
maka mereka juga harus rela jika guru menegakkan aturan pada semua siswa tanpa
pandang bulu. Orang tua harus ikhlas anaknya menerima akibat hukum dari
perbuatannya, termasuk jika tidak disiplin dan tidak berlaku sopan pada
guru.Jangan ajari anak menginjak-injak hukum. Sebab kekacauan itu timbul karena
lemahnya penegakan hukum.