Peraturan dan Regulasi IT
Telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Cyberlaw, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.
Yang
kita ketahui di Indonesia terdapat UU ITE, UU No. 11 tahun 2008, terdiri dari
XIII bab dan 54 Pasal. Ini adalah undang-undang yang membahas tentang informasi
dan transaksi elektronik.
Undang-Undang
tersebut memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum
yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia,
tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum
(yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara
asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat
hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau
universal.
Menanggapi
keprihatinan konsumen akan perlunya perlindungan information privacynya, ada
baiknya dilakukan penelusuran terhadap berbagai inisiatif internasional dalam
mengembangkan prinsip-prinsip perlindungan data (data protection). Selama ini
terdapat 3 (tiga) instrument internasional utama yang mengatur mengenai
prinsip-prinsip perlindungan data, yaitu:
- The Council of European Convention for the Protection of Individuals with Regard to the Processing of Personal Data Dalam Konvensi ini dijabarkan prinsip-prinsip bagi data protection yang meliputi :
2. Data disimpan
untuk tujuan tertentu dan sah serta tidak digunakan dengan cara yang tidak
sesuai dengan peruntukannya.
3. Penggunaan data
secara layak, relevan dan tidak berlebihan dalam mencapai tujuan dari
penyimpanan data tersebut.
4. Pengelolaan data
secara akurat dan membuatnya tetap actual.
5.Pemeliharaan
data dalam suatu format yang memungkinkan identifikasi terhadap data subject
untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari yang diperlukan untuk maksud
penyimpanan data tersebut.
Perbedaan cyberlaw diberbagai Negara :
Cyberlaw di Indonesia
Inisiatif
untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999.
Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit
mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada
sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya.
Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat
diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya
hal ini tidak terlaksana.
Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik,
pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan
target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah
banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic
procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik
lainnya.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa
masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan
“cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah
hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime),
penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan
password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk
pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama
domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada
undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide
untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun
berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan
akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya
materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw
ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari
sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs
di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu
pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya
terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan.
Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan
sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita.
Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia
mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak
untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika
Serikat.
Cyber Law di Malaysia
Lima
cyberlaws telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis ketertiban.
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh
parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan
dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan
tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act 1997
menyediakan penegakan hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang
tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman
untuk pelanggaran yang berbeda komitmen. Para Cyberlaw berikutnya yang akan
berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktisi medis untuk
memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh melalui
menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video. Berikut
pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 yang mengatur
konvergensi komunikasi dan industri multimedia dan untuk mendukung kebijakan
nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia industri. The
Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998 kemudian disahkan
oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan Multimedia yang
merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi pembangunan dan hal-hal
terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
Departemen Energi, Komunikasi dan Multimedia sedang
dalam proses penyusunan baru undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi
untuk mengatur pengumpulan, kepemilikan, pengolahan dan penggunaan data pribadi
oleh organisasi apapun untuk memberikan perlindungan untuk data pribadi
seseorang dan dengan demikian melindungi hak-hak privasinya. Ini to be undang
yang berlaku didasarkan pada sembilan prinsip-prinsip perlindungan data yaitu :
·
Cara pengumpulan data
pribadi
·
Tujuan pengumpulan
data pribadi
·
Penggunaan data
pribadi
·
Pengungkapan data
pribadi
·
Akurasi dari data
pribadi
·
Jangka waktu
penyimpanan data pribadi
·
Akses ke dan koreksi
data pribadi
·
Keamanan data pribadi
·
Informasi yang tersedia
secara umum.
Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)
Saat
ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat
guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related
crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang
berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini
berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota
beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime
tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran
penting dalam kejahatan tersebut.
Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya , yang menurut Prof. Susan Brenner dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya , yang menurut Prof. Susan Brenner dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
- Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
- Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
- Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
- Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
- Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties
Keterbatasan UU
Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi
Di negara kita banyak
sekali UU yang kita sendiri tidak mengetahui persis apa isinya tetapi di
sini akan di jelaskan salah satunya yaitu UU NO.36.
Keterbatasan UU
Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi.
Didalam UU No. 36
telekomunikasi berisikan sembilan bab yang mengatur hal-hal berikut ini ; Azas
dan tujuan telekomunikasi, pembinaaan, penyelenggaraan telekomunikasi,
penyidikan, sanksi administrasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup. Undang-Undang ini dibuat untuk menggantikan UU No.3 Tahun
1989 tentang Telekomunikasi, karena diperlukan penataan dan pengaturan kembali
penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang dimana semua ketentuan itu telah
di setujuin oleh DPRRI.
UU ini dibuat karena ada beberapa alasan, salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.
Dengan munculnya undang-undang tersebut membuat banyak terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi, antara lain :
- Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Perkembangan teknologi yang sangat pesat tidak hanya terbatas pada lingkup telekomunikasi itu saja, maleinkan sudah berkembang pada TI.
- Perkembangan teknologi telekomunikasi di tuntut untuk mengikuti norma dan kebijaksanaan yang ada di Indonesia.
Apakah ada keterbatasan yang dituangkan dalam UU no.36
Telekomunikasi tersebut dalam hal mengatur penggunaan teknologi Informasi. Maka
berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan mengenai batasan-batasan
yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan teknologi informasi tersebut,
artinya dalan UU tersebut tidak ada peraturan yang secara resmi dapat membatasi
penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun akan lain ceritanya jika kita
mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan teknologi informasi berbasis
sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara
virtual, maka hal tersebut diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik terutama BAB VII tentang Perbuatan yang Dilarang.
Untuk itu kita sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih
bijak dan berhati-hati lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan
memperhatikan peraturan dan norma yang ada.
Perbandingan UU ITE dilingkup Negara ASEAN
Beberapa hal penting yang menjadi perhatian dalam
setiap cyberlaw di negara ASEAN, khususnya yang berhubungan dengan e-commerce
antara lain;
- Perlindungan hukum terhadap konsumen.
• Indonesia
UU ITE menerangkan bahwa konsumen berhak untuk
mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan dengan detail produk, produsen dan
syarat kontrak.
• Malaysia
Communications and Multimedia Act 1998 menyebutkan
bahwa setiap penyedia jasa layanan harus menerima dan menanggapi keluhan
konsumen. Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.
2. Perlindungan
terhadap data pribadi serta privasi.
- Singapura
Sebagai pelopor negara ASEAN yang memberlakukan
cyberlaw yang mengatur e-commerce code untuk melindungi data pribadi dan
komunikasi konsumen dalam perniagaan di internet.
- Indonesia
Sudah diatur dalam UU ITE.
- Malaysia & Thailand
Masih berupa rancangan,
Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut
belum diatur.
- Cybercrime
Sampai dengan saat ini ada delapan negara ASEAN yang
telah memiliki cyberlaw yang mengatur tentang cybercrime atau kejahatan di
internet yaitu Malaysia,Singapura, Thailand, Vietnam dan termasuk Indonesia
melalui UU ITE yang disahkan Maret 2008 lalu.
- Spam
Spam dapat diartikan sebagai pengiriman informasi atau
iklan suatu produk yang tidak pada tempatnya dan hal ini sangat mengganggu.
1. Singapura
Merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang
memberlakukan hukum secara tegas terhadap spammers (Spam Control Act 2007)
2. Malaysia
& Thailand
Masih berupa rancangan.
3. Indonesia
UU ITE belum menyinggung masalah spam.
Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada.
- Peraturan Materi Online / Muatan dalam suatu situs
Lima negara ASEAN yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar,
Singapura serta Indonesia telah menetapkan cyberlaw yang mengatur pemuatan
materi online yang mengontrol publikasi online berdasarkan norma sosial,
politik, moral, dan keagamaan yang berlaku di negara masing-masing.
- Hak Cipta Intelektual atau Digital Copyright
Di ASEAN saat ini ada enam negara yaitu Brunei,
Kamboja, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura yang telah mengatur
regulasi tentang hak cipta intelektual.
Sementara negara lainnya masih berupa rancangan.
Sementara negara lainnya masih berupa rancangan.
- Penggunaan Nama Domain
Saat ini ada lima negara yaitu Brunei, Kamboja,
Malayasia, Vietnam termasuk Indonesia yang telah memiliki hukum yang mengatur
penggunaan nama domain. Detail aturan dalam setiap negara berbeda-beda dan
hanya Kamboja yang secara khusus menetapkan aturan tentang penggunaan nama
domain dalam Regulation on Registration of Domain Names for Internet under the
Top Level ‘kh’ 1999.
- Electronic Contracting
Saat ini hampir semua negara ASEAN telah memiliki
regulasi mengenai Electronic contracting dan tanda tangan elektronik atau
electronik signatures termasuk Indonesia melalui UU ITE.
Sementara Laos dan Kamboja masih berupa rancangan.
ASEAN sendiri memberi deadline Desember 2009 sebagai batas waktu bagi setiap negara untuk memfasilitasi penggunaan kontrak elektronik dan tanda tangan elektonik untuk mengembangkan perniagaan intenet atau e-commerce di ASEAN.
ASEAN sendiri memberi deadline Desember 2009 sebagai batas waktu bagi setiap negara untuk memfasilitasi penggunaan kontrak elektronik dan tanda tangan elektonik untuk mengembangkan perniagaan intenet atau e-commerce di ASEAN.
- Online Dispute resolution (ODR)
ODR adalah resolusi yang mengatur perselisihan di
internet.
1. Filipina
Merupakan satu-satunya negara ASEAN yang telah
memiliki aturan tersebut dengan adanya Philippines Multi Door Courthouse.Singapura
Mulai mendirikan ODR facilities.
2. Thailand
Masih dalam bentuk rancangan.
3. Malaysia
Masih dalam tahap rancangan mendirikan International
Cybercourt of Justice.
4. Indonesia
Dalam UU ITE belum ada aturan yang khusus mengatur
mengenai perselisihan di internet.
Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada. ODR sangat penting menyangkut implementasinya dalam perkembangan teknologi informasi dan e-commerce.
Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada. ODR sangat penting menyangkut implementasinya dalam perkembangan teknologi informasi dan e-commerce.
Sumber:
https://www.academia.edu/7699089/Peraturan_dan_Regulasi_IT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar